Ada saat ketika aku menyadari, dengan perasaan yang sulit dijelaskan, bahwa perlahan-lahan..
Aku kehilangan diriku.
Semua yang kulakukan, yang kuucapkan, bahkan yang kuinginkan—rasanya seperti tidak benar-benar berasal dari diriku sendiri lagi.
Segala yang kutemui di internet, segala tren, opini, dan “must-haves” perlahan-lahan membentuk siapa aku dan apa yang harus kulakukan.
Rasanya seperti aku disetir, dipaksa untuk terus menampilkan versi terbaik dari diriku yang bahkan aku sendiri tidak begitu yakin.
Kata yang dulu terasa jauh kini menjadi kenyataan yang mengekang. Aku tahu apa yang terjadi; aku paham bahwa setiap klik, setiap scroll, setiap like, semuanya dihitung dan dirancang untuk membuatku bertahan lebih lama. Aku terpaku, terperangkap dalam lingkaran yang tidak pernah kubayangkan akan sedalam ini. Setiap kali aku membuka media sosial, aku seperti memasuki dunia yang penuh janji-janji ilusi: hidup yang lebih baik, karier yang lebih tinggi, dan cinta yang lebih sempurna. Tapi, semakin kutelusuri, semakin aku merasakan kehampaan yang tak terjelaskan, seperti aku mengejar sesuatu yang bahkan tak kumengerti.
Dan pada akhirnya, perasaan itu datang—aku muak. Muak dengan harapan yang terlalu tinggi, dengan ekspektasi yang kurasa tak pernah kuinginkan dari awal. Rasanya seperti aku menyerahkan kendali atas hidupku ke layar yang terus-menerus menyala. Semua saran, semua ‘inspirasi,’ semuanya terasa begitu tidak nyata, terlalu diatur, bahkan sampai aku tak lagi bisa mengenali apa yang benar-benar ingin kulakukan untuk diriku sendiri. Aku tersesat dalam semua harapan ini, seolah-olah internet yang kini memegang kendali atas masa depanku, seolah-olah pilihan-pilihanku bukan lagi pilihanku, tapi pilihan yang sudah disaring ribuan kali oleh orang lain yang bahkan tak mengenalku.
Apa yang terjadi pada cita-citaku dulu? Pada semua mimpi yang pernah kumiliki, yang rasanya tidak lagi relevan dalam dunia yang berubah setiap hari? Aku ingin keluar, melepaskan diri, tapi sulit sekali menemukan jalan kembali. Sulit untuk menyaring suara-suara di kepalaku yang kini terkotori oleh banyaknya kritik, banyaknya harapan yang bukan berasal dariku.
Jadi, aku mulai berpikir: apakah mungkin menemukan diriku kembali? Bisakah aku mengembalikan kendali yang selama ini kuserahkan?
Mungkin jawabannya adalah dengan berhenti sejenak, berjarak dari semua ini, dan memberi ruang bagi suara asliku untuk terdengar kembali. Bukan berarti aku harus menutup pintu dari dunia luar, tapi aku perlu belajar membedakan mana yang benar-benar berasal dari hatiku, dan mana yang sekadar fatamorgana dari layar.
Aku ingin masa depanku kembali—masa depan yang benar-benar milikku, tanpa terdistorsi oleh ekspektasi dunia yang begitu asing. Dan jika itu berarti menahan diri dari perasaan “terhubung” sejenak, maka biarlah. Karena bagaimanapun, hidupku, pilihanku, dan yang terpenting